Definisi Maladministrasi
Maladministrasi menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (“UU 37/2008”)
diartikan sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi
tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban
hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh
Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.[1]
Menurut Hendra Nurtjahjo dkk dalam buku Memahami Maladministrasi (hal. 11-12) yang kami akses dari laman Ombudsman RI menjelaskan definisi maladministrasi yaitu:
a. Perilaku dan perbuatan melawan hukum,
b. Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang,
c. Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang itu,
d. Kelalaian,
e. Pengabaian kewajiban hukum,
f. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
g. Dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan,
h. Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial,
i. Bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Bentuk-Bentuk Maladministrasi
Menjawab
pertanyaan Anda, bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk maladministrasi
yang paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang,
penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan,
kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi,
tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan salah pengelolaan.[2]
Hendra dkk menjelaskan
yang termasuk bentuk tindakan maladministrasi adalah tindakan-tindakan
yang dilakukan aparatur pemerintah dikarenakan adanya:[3]
1. Mis Conduct yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan dengan kepentingan kantor.
2. Deceitful practice yaitu
praktek-praktek kebohongan, tidak jujur terhadap publik. Masyarakat
disuguhi informasi yang menjebak, informasi yang tidak sebenarnya, untuk
kepentingan birokrat.
3. Korupsi
yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, termasuk
didalamnya mempergunakan kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan
pemberian kewenangan, dan dengan tindakan tersebut untuk kepentingan
memperkaya dirinya, orang lain kelompok maupun korporasi yang merugikan
keuangan negara.
4. Defective Policy Implementation
yaitu kebijakan yang tidak berakhir dengan implementasi.
Keputusan-keputusan atau komitmen-komitmen politik hanya berhenti sampai
pembahasan undang-undang atau pengesahan undang-undang, tetapi tidak
sampai ditindak lanjuti menjadi kenyataan.
5. Bureaupathologis adalah penyakit-penyakit birokrasi ini antara lain:
a. Indecision yaitu tidak
adanya keputusan yang jelas atas suatu kasus. Jadi suatu kasus yang
pernah terjadi dibiarkan setengah jalan, atau dibiarkan mengambang,
tanpa ada keputusan akhir yang jelas. Biasanya kasus-kasus seperti bila
menyangkut sejumlah pejabat tinggi. Banyak dalam praktik muncul
kasus-kasus yang di peti es kan.
b. Red Tape yaitu penyakit
birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang
berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara singkat.
c. Cicumloution yaitu Penyakit
para birokrat yang terbiasa menggunakan katakata terlalu banyak. Banyak
janji tetapi tidak ditepati. Banyak kata manis untuk menenangkan gejolak
masa. Kadang-kadang banyak kata-kata kontroversi antar elit yang
sifatnya bisa membingungkan masyarakat.
d. Rigidity yaitu penyakit
birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari model pemisahan dan
impersonality dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini
nampak,dalam pelayanan birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang
pokoknya baku menurut aturan, tanpa melihat kasus-perkasus.
e. Psycophancy yaitu
kecenderungan penyakit birokrat untuk menjilat pada atasannya. Ada
gejala Asal Bapak senang. Kecenderungan birokrat melayani individu
atasannya, bukan melayani publik dan hati nurani. Gejala ini bisa juga
dikatakan loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada publik.
f. Over staffing yaitu Gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk pembengkakan staf. Terlalu banyak staf sehingga mengurangi efisiensi.
g. Paperasserie adalah
kecenderungan birokrasi menggunakan banyak kertas, banyak
formulir-formulir, banyak laporan-laporan, tetapi tidak pernah
dipergunakan sebagaimana mestinya fungsinya.
h. Defective accounting yaitu
pemeriksaan keuangan yang cacat. Artinya pelaporan keuangan tidak
sebagaiamana mestinya, ada pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan
mengelabuhi. Biasanya kesalahan dalam keuangan ini adalah mark up proyek keuangan.
Masih bersumber dari buku yang sama, ada pendapat lain mengenai bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh birokrat yaitu:[4]
1. Ketidak jujuran (dishonesty), berbagai tindakan ketidak jujuran antara lain: menggunakan barang publik untuk kepentingan pribadi, menerima uang dll.
2. Perilaku yang buruk (unethical behavior),
tindakan tidak etis ini adalah tindakan yang mungkin tidak bersalah
secara hukum, tetapi melanggar etika sebagai administrator.
3. Mengabaikan hukum (disregard of law),
tindakan mengabaikan hukum mencakup juga tindakan menyepelekan hukum
untuk kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan kelompoknya.
4. Favoritisme
dalam menafsirkan hukum, tindakan menafsirkan hukum untuk kepentingan
kelompok, dan cenderung memilih penerapan hukum yang menguntungkan
kelompoknya.
5. Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai, tindakan ini cenderung ke perlakuan pimpinan kepada bawahannya berdasarkan faktor like and dislike.
Yaitu orang yang disenangi cenderung mendapatkan fasilitas lebih, meski
prestasinya tidak begus. Sebaliknya untuk orang yang tidak disenangi
cenderung diperlakukan terbatas.
6. Inefisiensi bruto (gross inefficiency), adalah kecenderungan suatu instansi publik memboroskan keuangan negara.
7. Menutup-nutupi
kesalahan, kecenderungan menutupi kesalahan dirinya, kesalahan
bawahannya, kesalahan instansinya dan menolak di liput kesalahannya.
8. Gagal
menunjukkan inisiatif, kecenderungan tidak berinisiatif tetapi menunggu
perintah dari atas, meski secara peraturan memungkinkan dia untuk
bertindak atau mengambil inisiatif kebijakan.
Lembaga Ombudsman
Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik
yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan
termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik
tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah.[5]
Tugas Ombudsman
Meluruskan
pernyataan Anda soal kewenangan Ombudsman dalam menangani
maladministrasi, kami luruskan bahwa menangani maladministrasi bukanlah
kewenangan Ombudsman, melainkan tugas Ombudsman seperti yang disebut
dalam Pasal 7 UU 37/2008:
Ombudsman bertugas:
a. menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
b. melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan;
c. menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
d. melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e. melakukan
koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga
pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan;
f. membangun jaringan kerja;
g. melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan
h. melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.
Wewenang Ombudsman
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Ombudsman berwenang:[6]
a. meminta
keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau
pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada
Ombudsman;
b. memeriksa
keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor
ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu Laporan;
c. meminta
klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari
instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor;
d. melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan;
e. menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak;
f. membuat
Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk
membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
g. demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi;
h. menyampaikan
saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara
Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau
prosedur pelayanan publik;
i. menyampaikan
saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap
undang-undang dan peraturan perundangundangan lainnya diadakan perubahan
dalam rangka mencegah Maladministrasi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Referensi:
Hendra Nurtjahjo. Memahami Maladministrasi. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia. 2013,, diakses pada 22 Desember 2016 pukul 11.29 WIB.
Komentar
Posting Komentar